Efek Rumah Kaca
Suhu rata-rata global
pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) selama
seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)
menyimpulkan bahwa, "sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global
sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya
konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia" melalui efek
rumah kaca.
Gambar
1. Proses Terjadinya Efek Rumah Kaca
Efek rumah kaca, yang
pertama kali diusulkan oleh Joseph Fourier pada 1824, merupakan proses
pemanasan permukaan suatu benda langit (terutama planet atau satelit) yang
disebabkan oleh komposisi dan keadaan atmosfernya. Segala sumber energi yang
terdapat di bumi berasal dari matahari. Sebagian besar energi tersebut
berbentuk radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini
tiba di permukaan bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan
bumi. Permukaan bumi, akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali
sisanya. Sebagian dari panas ini berwujud radiasi infra merah gelombang panjang
ke angkasa luar. Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi
akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca, antara lain uap air, karbon dioksida,
dan metana yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini. Gas-gas ini menyerap
dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan bumi dan akibatnya
panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi. Keadaan ini terjadi terus
menerus sehingga mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat.
Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana gas dalam rumah kaca. Dengan makin
meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, makin banyak panas yang
terperangkap di bawahnya.
Efek rumah kaca
disebabkan karena naiknya konsentrasi gas karbon dioksida (CO2) dan gas-gas
lainnya di atmosfer. Kenaikan konsentrasi gas CO2 ini disebabkan oleh kenaikan
pembakaran bahan bakar minyak, batubara dan bahan bakar organik lainnya yang
melampaui kemampuan tumbuh-tumbuhan dan laut untuk menyerapnya.
Energi yang masuk ke Bumi:
·
25% dipantulkan oleh awan atau partikel
lain di atmosfer
·
25% diserap awan
·
45% diserap permukaan bumi
·
5% dipantulkan kembali oleh permukaan
bumi
Energi yang diserap
dipantulkan kembali dalam bentuk radiasi inframerah oleh awan dan permukaan
bumi. Namun sebagian besar inframerah yang dipancarkan bumi tertahan oleh awan
dan gas CO2 dan gas lainnya, untuk dikembalikan ke permukaan bumi. Dalam
keadaan normal, efek rumah kaca diperlukan, dengan adanya efek rumah kaca
perbedaan suhu antara siang dan malam di bumi tidak terlalu jauh berbeda.
Selain gas CO2, yang dapat menimbulkan efek rumah kaca adalah
belerang dioksida, nitrogen monoksida (NO) dan nitrogen dioksida (NO2) serta
beberapa senyawa organik, seperti gas metana dan klorofluorokarbon (CFC).
Gas-gas tersebut memegang peranan penting dalam meningkatkan efek rumah kaca.
Ilustrasinya seperti video berikut ini:
Dampak Efek Rumah Kaca
Meningkatnya suhu
permukaan bumi akan mengakibatkan adanya perubahan iklim yang sangat ekstrem di
bumi. Hal ini dapat mengakibatkan terganggunya hutan dan ekosistem lainnya,
sehingga mengurangi kemampuannya untuk menyerap karbon dioksida di atmosfer.
Pemanasan global mengakibatkan mencairnya gunung-gunung es di daerah kutub yang
dapat menimbulkan naiknya permukaan air laut. Efek rumah kaca juga akan
mengakibatkan meningkatnya suhu air laut sehingga air laut mengembang dan
terjadi kenaikan permukaan laut yang mengakibatkan negara kepulauan akan mendapatkan
pengaruh yang sangat besar.
Menurut perhitungan
simulasi, efek rumah kaca telah meningkatkan suhu rata-rata bumi 1-5 °C. Bila
kecenderungan peningkatan gas rumah kaca tetap seperti sekarang akan
menyebabkan peningkatan pemanasan global antara 1,5-4,5 °C sekitar tahun 2030.
Dengan meningkatnya konsentrasi gas CO2 di atmosfer, maka akan makin
banyak gelombang panas yang dipantulkan dari permukaan bumi diserap atmosfer.
Hal ini akan mengakibatkan suhu permukaan bumi menjadi meningkat.
Efek rumah kaca ini sangat
dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang ada di bumi, karena tanpanya, planet
ini akan menjadi sangat dingin. Dengan temperatur rata-rata sebesar 15 °C (59
°F), bumi sebenarnya telah lebih panas 33 °C (59 °F) dari temperaturnya semula,
jika tidak ada efek rumah kaca suhu bumi hanya -18 °C sehingga es akan menutupi
seluruh permukaan Bumi. Akan tetapi sebaliknya, apabila gas-gas tersebut telah
berlebihan di atmosfer, akan mengakibatkan pemanasan global.
Dampak Pemanasan Global
Para ilmuwan
menggunakan model komputer dari temperatur, pola presipitasi, dan sirkulasi
atmosfer untuk mempelajari pemanasan global. Berdasarkan model tersebut, para
ilmuan telah membuat beberapa perkiraan mengenai dampak pemanasan global
terhadap cuaca, tinggi permukaan air laut, pantai, pertanian, kehidupan hewan
liar, dan kesehatan manusia.
a.
Iklim Mulai Tidak Stabil
b.
Peningkatan permukaan laut
c.
Suhu global cenderung meningkat
d.
Gangguan ekologis
e.
Dampak sosial dan politik
Ancaman Global warming Terhadap sektor Pertanian Indonesia
Kekhawatiran orang akan menipisnya persediaan bahan
pangan di dunia ini bagi pemenuhan kebutuhan umat manusia telah berlangsung
sejak beberapa abad lalu. Malthus, dalam karyanya yang menimbulkan perdebatan
sengit, Essay on the Principle of
Population, mengungkap kekhawatiran tersebut. Malthus mensinyalir bahwa,
kelahiran yang tidak terkontrol, menyebabkan penduduk bertambah menurut deret
ukur, sementara persediaan makanan tak akan mampu tumbuh lebih besar dari deret
hitung.
Menurut Bank Dunia,
populasi global diperkirakan akan meningkat menjadi lebih 8,3 milyar pada tahun
2025, dari hanya sekitar 5,3 milyar saat ini. Dengan begitu, berpegang pada
asumsi bahwa seluruh manusia yang ada harus tetap makan, dengan standar gizi
yang meningkat, maka produksi makanan harus dinaikkan beberapa ratus persen,
dari tingkat produksi saat ini. Artinya, beban itu utamanya harus diberikan
pada sektor pertanian, sebagai sektor utama penghasil bahan pangan. Kenyataan
di atas dikhawatirkan akan makin memburuk dengan makin terwujudnya perdagangan
bebas. Perdagangan bebas sering dilihat sebagai hal yang menciptakan ruang
berkembang bagi proses akumulasi gas-gas rumah kaca. Ini terjadi lewat dorongan
terhadap peningkatan produksi dan konsumsi yang pesat, yang tidak disertai
dengan teknologi produksi yang ramah lingkungan (environmental friendly technology).
Sebagai negara
kepulauan yang terletak di daerah tropis, Indonesia merupakan salah satu negara
yang paling rentan terhadap ancaman dan dampak dari perubahan iklim. Letak
geografis dan kondisi geologisnya menjadikan negeri ini semakin rawan terhadap
berbagai bencana alam yang terkait dengan iklim. Menurut laporan IPCC,
Indonesia diperkirakan akan menghadapi berbagai ancaman dan dampak dari
perubahan iklim. Kenaikan permukaan air laut, meluasnya kekeringan dan banjir,
menurunnya produksi pertanian, dan meningkatnya prevalensi berbagai penyakit
yang terkait iklim merupakan beberapa dampak perubahan iklim yang sudah dan
akan terjadi di Indonesia.
Sebagian besar,
kota-kota di negeri ini yang berpenduduk padat berada di daerah pesisir pantai.
Kota-kota ini beberapa dekade mendatang terancam akan tenggelam akibat kenaikan
permukaan air laut. Penelitian yang dilakukan oleg Gordon Mc Grahanan dari
International Institute for Environment and Development, Inggris, menemukan
bahwa sekitar 10% dari total penduduk bumi yang bermukim sekitar 10 meter dari
pinggir pantai terancam akan tenggelam ketika es di kutub mencair akibat
perubahan iklim. Jakarta, Makassar, Padang, dan beberapa kota di Jawa Barat
akan tenggelam beberapa dekade mendatang, jika kita merujuk pada penelitian
ini. Menurunnya produksi pangan akibat gagal panen yang disebabkan oleh banjir
dan kekeringan juga diperkirakan akan makin sering terjadi.
Orang mungkin
beranggapan bahwa bumi yang hangat akan menghasilkan lebih banyak makanan dari
sebelumnya, tetapi hal ini sebenarnya tidak sama di beberapa tempat. Bagian
Selatan Kanada, sebagai contoh, mungkin akan mendapat keuntungan dari lebih
tingginya curah hujan dan lebih lamanya masa tanam. Di lain pihak, lahan
pertanian tropis semi kering di beberapa bagian Afrika mungkin tidak dapat
tumbuh. Daerah pertanian gurun yang menggunakan air irigasi dari gunung-gunung
yang jauh dapat menderita jika snowpack (kumpulan salju) musim dingin, yang
berfungsi sebagai reservoir alami, akan mencair sebelum puncak bulan-bulan masa
tanam. Tanaman pangan dan hutan dapat mengalami serangan serangga dan penyakit
yang lebih hebat.
1) Panen padi kosong di Indramayu
Untuk tahun 2003, para petani di Indramayu, Jawa Barat, punya
catatan kelam. Ribuan hektar lahan terserang puso, gagal panen. Kala itu mereka
menanam padi jenis talimas, salah satu varietas padi yang butuh waktu panjang
dan perlu banyak air. Bencana yang dialami petani
Indramayu, oleh pemerintah daerah dianggap dampak meningkatnya suhu bumi, alias
pemanasan global.
2) Musim yang tidak menentu (Anomali
Iklim)
Pemanasan global yang
memicu anomali iklim. Sederhananya, iklim menyimpang dari biasanya.
Penyimpangan iklim ini terus meningkat, baik seringnya, gawatnya, maupun
lamanya. Namun dampak perubahan iklim terhadap pertanian tidak langsung.
Biasanya diawali dengan musim yang kacau serta munculnya bencana banjir dan
kekeringan. Para petani, nelayan dan semua pihak yang berkaitan langsung dengan
kondisi cuaca dibuat pusing oleh anomali cuaca ekstrem. Musim kemarau seolah
bertumpuk dengan musim hujan sehingga sepanjang waktu selalu basah. Bahkan di
sejumlah tempat hujan lebat tempat telah mengakibatkan banjir bandang yang
menenggelamkan ratusan hektar sawah, dan ladang.
Tidak hanya banjir
yang diterima juga terdapat peningkatan populasi hama. Banyak terjadi kasus
ratusan hetar lahan benih milik sebuah BUMN yang hancur tidak dapat dipanen
akibat adanya wereng. Serangan hama penggerek juga mengalami peningkatan
sehingga mengganggu petani padi. Dampak ini juga berpengaruh kepada petani
tebu, karena mengakibatkan kadar air yang tinggi, sehingga terjadi penurunan
rendemen tebu.
3) Kalender tanam berubah
Di Subang yang
merupakan sentra produksi pangan, hasil studi menunjukkan: jika intensitas
anomali kuat, maka masa tanam mundur 30 hari. Itu terjadi jika musim kemarau
maju lebih cepat tiga puluh hari dan musim hujan mundur 20 hari. Tapi kalau
anomalinya sedang, mundurnya cuma 20 hari. Iklim yang sulit diperhitungkan
menyebabkan petani sulit menyusun kalender tanam. Jadi kalau musim kemarau,
lahan pertanian kekeringan. Sedang kalau musim hujan, yang dialami adalah
banjir. Petani jelas rugi. Karena ramalan iklim susah ditebak.
4) Penurunan Produksi Pertanian
Indonesia
Di Indonesia, pengaruh
pemanasan global telah menyebabkan perubahan iklim, antara lain terlihat dari
curah hujan di bawah normal, sehingga masa tanam terganggu, dan meningkatnya
curah hujan di sebagian wilayah. Kondisi tata ruang, daerah resapan air, dan
sistem irigasi yang buruk makin memicu terjadinya banjir, termasuk di area
persawahan. Sebagai gambaran, pada 1995 hingga 2005, total tanaman padi yang
terendam banjir berjumlah 1.926.636 hektar. Dari jumlah itu, 471.711 hektar di
antaranya mengalami puso. Sawah yang mengalami kekeringan pada kurun waktu
tersebut berjumlah 2.131.579 hektar, yang 328.447 hektar di antaranya gagal
panen.
Rosamond Naylor,
Direktur Program Ketahanan Pangan dan Lingkungan dari Stanford University,
melansir anomali cuaca El Nino, yang diperburuk oleh pemanasan global, akan
menimbulkan kerugian bagi produksi beras di kawasan Jawa-Bali karena mundurnya
musim hujan.
Upaya Umum Mengatasi Global
Warming
1. Konferensi Climate Change (UNFCCC)
Isu perubahan iklim
mulai mendapat perhatian dunia sejak diselenggarakannya Konferensi Tingkat
Tinggi Bumi di Rio de Janeiro, Brazil, pada tahun 1992. Pada pertemuan itu para
pemimpin dunia sepakat untuk mengadopsi sebuah perjanjian mengenai perubahan
iklim yang dikenal dengan Konvensi Perubahan Iklim PBB atau United Nations
Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Tujuan utama dari konvensi ini
adalah untuk menjaga kestabilan emisi gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat
yang aman, sehingga tidak membahayakan sistem iklim bumi.
2. Mitigasi
Mitigasi berarti
sebuah usaha yang dilakukan untuk mencegah, menahan dan atau memperlambat efek gasrumah
kaca yang menjadi
penyebab pemanasan global di bumi. Komitmen dunia dalam
mitigasi pemanasan global dengan menurunkan tingkat emisi secara kolektif 5,2
persen dari tingkat emisi pada 1990 tetap harus diusahakan.
3. Adaptasi
Di berbagai negara,
upaya adaptasi mulai dilakukan, misalnya pembuatan strategi manajemen air di
Australia dan Jepang atau pembangunan infrastruktur untuk melindungi pantai di
Maldives dan Belanda. Inilah yang kita perlukan di Indonesia. Setidaknya
pemerintah membangun sistem identifikasi dan informasi mengenai dampak
perubahan iklim serta mengembangkan sistem peringatan dini dan manajemen dampak
perubahan iklim. Untuk sektor pertanian, sistem penyuluhan sebagai pusat
informasi cuaca dan perubahan iklim harus dibangun serius. Menghadapi perubahan
iklim yang kian nyata menjelang 2050, perlu dikembangkan jenis padi yang tahan
kekeringan atau cara budidaya padi yang lebih efisien terhadap air. Selain itu,
pembangunan dan manajemen irigasi penting dibenahi. Kita perlu mempertanyakan
bagaimana pemetaan wilayah yang rawan kekeringan, informasi perubahan dan
prediksi iklim, peta zona agroekologi potensial, teknologi pemanenan hujan,
serta embung yang selama ini diklaim telah dikembangkan pemerintah.
Upaya Khusus Mengatasi Global Warming
Upaya khusus untuk
mengatasi global warming adalah dengan menanam pohon sebanyak-banyaknya,
khususnya pohon dengan kemampuan menyerap karbondioksida tinggi dan mengganti
bahan bakar fosil dengan sumber energi baru yang tanpa emisi karbon.
a) Menanam Pohon Trembesi
Gambar 2. Pohon trembesi
Penanaman pohon bisa
memenuhi komitmen pengurangan emisi karbon dan Pohon Trembesi efektif menyerap
karbon dari udara. Pohon Trembesi atau dikenal dengan Pohon Hujan atau Ki Hujan
adalah pohon berkanopi seperti payung yang memiliki ukuran daun yang tak lebih
dari koin Rp 100, namun paling unggul dalam menyerap karbondioksida. Menurut
Dr. Ir. H. Endes N. Dahlan, Dosen Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
mengungkapkan bahwa Pohon Trembesi suatu terobosan untuk mengatasi pemanasan
global, karena memiliki daya rosot gas CO2 yang sangat tinggi. Satu
batang pohon Trembesi mampu menyerap 28,5 ton gas CO2 setiap
tahunnya (diameter tajuk 15 m). Penanaman jenis ini secara luas dapat
menurunkan konsentrasi gas ini secara efektif dalam waktu yang lebih singkat
b) Pohon Nipah sebagai sumber energi
baru
Gambar 3. Pohon nipah
Sebuah sumber energi
baru ditemukan untuk menggantikan bahan bakar minyak, yakni ethanol dari pohon
nipah yang dipercaya dapat menghentikan pemanasan global. Dengan metode
penyulingan minyak ditemukan sebuah penemuan, yaitu memproduksi ethanol secara
komersial dari pohon nipah, yang bisa ditemukan di negara-negara yang berada di
wilayah ekuator, yang bisa menjadi bahan bakar mulai dari kendaraan bermesin
hingga pembangkit listrik. Getah nipah akan digunakan dalam sebuah proses untuk
menghasilkan ethanol yang tidak memproduksi satupun emisi karbon yang selama
ini dianggap menyebabkan efek rumah kaca, yakni pengubah cuaca dan penipisan
ozon. Pohon nipah tidak termasuk sumber bahan makanan dan getahnya bisa diambil
setiap hari tanpa harus memanen tanaman tersebut. Tanaman ini bisa hidup hingga
50 tahun dan yang perlu dilakukan hanyalah mengumpulkan getahnya dan disuling
untuk menghasilkan bahan bakar alternatif.
Sumber:
Suarsana M. dan P. S. Wahyuni. 2011. Global Warming: Ancaman Nyata Sektor
Pertanian dan Upaya Mengatasi Kadar Co2 Atmosfer. Widyatech
Jurnal Sains dan Teknologi 11 (1): 31-46.
https://www.academia.edu/9045862/DAMPAK_PERUBAHAN_IKLIM_TERHADAP_PERTANIAN_DI_INDONESIA_DAN