Sabtu, 23 September 2017

PENGEMBANGAN PERTANIAN PERKOTAAN




Pertanian perkotaan (urban farming)


Urbanisasi dan perkembangan kota di Indonesia telah terjadi dengan cepat dalam beberapa puluh tahun belakangan ini. Hal ini terlihat dari pertumbuhan penduduk perkotaan di Indonesia yang sangat pesat dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk perdesaan. Data penduduk BPS menunjukkan bahwa persentase jumlah penduduk perkotaan pada tahun 1990 mencapai 30,9%, tahun 2010 mencapai 49,8%, dan pada tahun ini sudah mencapai 56%. Dalam Visi Ekonomi Indonesia 2025 diperkirakan sebesar 65% dari penduduk Indonesia tinggal di kota.

Sejalan dengan hal tersebut, DKI Jakarta sebagai ibukota negara dan merupakan salah satu kota metropolitan juga terjadi proses urbanisasi dan perkembangan kota yang sangat pesat. Percepatan urbanisasi dan perkembangan kota di DKI Jakarta tentunya akan menimbulkan berbagai masalah. Jumlah peningkatan penduduk kota yang signifikan tanpa didukung dan diimbangi dengan jumlah penyediaan pangan, lapangan kerja, perumahan, sarana dan prasarana, aparat penegak hukum, dan lain sebagainya merupakan masalah yang harus ditangani dengan baik.

Di sisi lain, salah satu fenomena yang saat ini terjadi di perkotaan di Indonesia maupun di DKI Jakarta adalah berkembangnya pertanian perkotaan. Dalam Laporan Rural Urban Agriculture Foundation (RAUF) tahun 2008, disebutkan bahwa definisi pertanian perkotaan adalah kegiatan pertanian yang terdapat di dalam dan di sekitar perkotaan. Dengan demikian, secara umum pertanian kota (urban agriculture) dapat didefinisikan sebagai setiap bentuk usaha, komersial ataupun bukan, yang berkaitan dengan produksi, distribusi, serta konsumsi dari bahan pangan atau hasil pertanian lain yang dilakukan dengan memanfaatkan ruang minimalis yang terdapat di perkotaan. Pertanian kota meliputi penanaman, panen, dan pemasaran berbagai bahan pangan yang memanfaatkan lahan-lahan yang tersedia di lingkungan perkotaan.

Perbedaan yang paling menonjol antara pertanian perkotaan dengan pertanian perdesaan adalah terintegrasinya pertanian perkotaan ke dalam sistem ekonomi perkotaan dan ekosistem perkotaan. Peningkatan jumlah populasi di perkotaan telah menyebabkan peningkatan kebutuhan bahan pangan. Jarak perkotaan yang jauh dari sumber produksi pangan menjadi alasan pentingnya pertanian perkotaan. Kesegaran bahan makanan yang tersedia, seperti sayur dan buah, mengalami degradasi kualitas selama transportasi sehingga usaha memperdekat akses terhadap bahan makanan melalui kegiatan pertanian perkotaan sangat perlu untuk dilakukan.

Pertanian perkotaan selain mempunyai manfaat ekonomi, juga mempunyai manfaat sosial dan manfaat lingkungan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Julie M. Slabinski (2013) yang menyimpulkan bahwa pertanian perkotaan dapat menjadi salah satu solusi karena tidak hanya menjadikan lahan kosong menjadi berguna tetapi juga memberikan solusi murah dan fleksible bagi masyarakat yang kesulitan finansial.


Pola pertanian kota dapat dikembangkan merupakan pola pertanian yang berinteraksi dengan ekosistem perkotaan, yaitu:

  1. Lokasi usaha pertanian dapat dilakukan di dalam kota (intra-urban) atau di daerah pinggiran kota (semi-urban).
  2. Pertanian kota mendayagunakan sumber daya lahan perkotaan berupa lahan tidur, pekarangan, pot dan lahan pertanian di sekitar kota
  3. Pelaku yang terlibat dalam pertanian kota adalah penduduk perkotaan atau penduduk migran dan beragam mulai dari masyarakat miskin perkotaan, pegawai golongan rendah yang mempunyai waktu luang serta investor (pemodal besar) yang menanamkan investasi pada usaha pertanian di daerah perkotaan.
  4. Pertanian kota dapat memanfaatkan sumber daya perkotaan yang khas seperti sampah organik sebagai kompos dan limbah perkotaan untuk irigasi.
  5. Lokasi usaha perkotaan dan pinggiran kota membuka hubungan langsung dengan konsumen perkotaan.
  6. Pertanian perkotaan dapat memberikan dampak positif pada ekologi perkotaan

Kegiatan pertanian perkotaan di lahan kosong juga bermanfaat dalam hal menghilangkan cemaran kimia yang terpapar di tanah. Dalam proses yang dikenal sebagai fitoremediasi, tanaman dan mikroorganisme mendegradasi bahan kimia, menyerap, mengkonversi dalam bentuk tersedia, dan mengeluarkannya dari sistem lahan (Black, 1995; Don, 2004). Beberapa diantaranya adalah logam logam, seperti Mercury, Timbal, Arsenik, Uranium, dan senyawa organik seperti minyak bumi dan PCB. Usaha fitoremediasi tersebut umumnya dilakukan pada awal pertanaman yang ditujukkan untuk tidak dikonsumsi. Setelah lahan bebas dari kontaminan selanjutnya dapat digunakan untuk memproduksi bahan pangan (Lasat, 2000; Cluis, 2004).

Peluang dan Tantangan
Terbukanya peluang pasar yang sangat besar sejalan dengan pertumbuhan masyarakat kota, dekatnya jarak antara produsen dan konsumen sehingga mempermudah penanganan panen dan pasca panen, transportasi, waktu, dan kualitas kesegaran produk, anomali cuaca yang disebabkan oleh perubahan iklim global sehingga menyebabkan ketidakpastian pasokan produk pangan dari daerah-daerah sentra, peningkatan kesadaran terhadap lingkungan (slogan go green) dan hidup sehat sejalan dengan peningkatan kemakmuran sebagian masyarakat, dan peningkatan arus urbanisasi tenaga kerja berkemampuan terbatas dari desa berlatar belakang pertanian, merupakan faktor-faktor dominan yang mampu meningkatkan peluang berkembangnya pertanian di perkotaan (Holmer 2001; Peters, 2011; Veenhuizen 2003; Dubbelling, 2005; Mbethany, 2005).
Namun demikian, tantangan yang dihadapi dalam pengembangan pertanian di perkotaan sebanding dengan besarnya peluang pengembangan. Tantangan yang dihadapi diantaranya adalah status hukum dan luasan lahan, pasokan sinar matahari dan sirkulasi udara, cemaran logam berat, keterbatasan pengetahuan, serta berkembangnya penyakit menular dari hewan.
Sebagian besar lahan yang digunakan adalah lahan tidur milik pribadi,  swasta atau pemerintah seperti badan jalan, bantaran rel, bantaran kali, dan ruang terbuka hijau. Kondisi tersebut akan sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan usaha masyarakat dan pembinaan yang diberikan oleh pemerintah ataupun swasta dan lembaga. Selain itu, sekelompok masyarakat yang bercocok tanam di lahan tidur umumnya berasal dari daerah yang sama dan masih memiliki hubungan kekerabatan. Lahan yang tersedia umumnya dibagi sedemikian rupa sehingga masing-masing individu memiliki lahan garapan yang sangat terbatas.
Pertanian kota didasarkan perspektif nilai ekonomis dan lingkungan. Namun dengan keterbatasan lahan yang ada bukanlah hal yang menjadi hambatan untuk mengaktualkan potensi nilai ekonomi yang dimilikinya. Lahan tersebut dioptimalkan untuk ditanami tanaman-tanaman dengan nilai ekonomi tinggi seperti tanaman pangan, tanaman hias dan tanaman penyuplai oksigen dalam jumlah besar.
Berikut merupakan berbagai teknik urban farming yang dapat menjadi solusi dan peluang bisnis tentunya
  1. Vertikultur
  2. Hidroponik 

Daftar Pustaka

Cahya D. L. 2014. Kajian Peran Pertanian Perkotaan Dalam Pembangunan Perkotaan Berkelanjutan (Studi Kasus: Pertanian Tanaman Obat Keluarga Di Kelurahan Slipi, Jakarta Barat). Forum Ilmiah 11(3):323-333.

Gafar A. 2015. Lorong Garden, Konsep Pertanian Perkotaan  (Urban Farming). Diakses pada (https://fkthltbppsulsel.wordpress.com/2015/07/22/lorong-garden-konsep-pertanian-perkotaan-urban-farming/) Tanggal 21 september 2017 pukul 21:28 WIB.

Sastro Y. 2013. Pertanian Perkotaan: Peluang, Tantangan, Dan Strategi Pengembangan. Buletin Pertanian Perkotaan 3(1):30-36.



EFEK RUMAH KACA