Pertanian
perkotaan (urban farming)
Urbanisasi dan perkembangan kota di Indonesia telah
terjadi dengan cepat dalam beberapa puluh tahun belakangan ini. Hal ini
terlihat dari pertumbuhan penduduk perkotaan di Indonesia yang sangat pesat
dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk perdesaan. Data penduduk BPS
menunjukkan bahwa persentase jumlah penduduk perkotaan pada tahun 1990 mencapai
30,9%, tahun 2010 mencapai 49,8%, dan pada tahun ini sudah mencapai 56%. Dalam
Visi Ekonomi Indonesia 2025 diperkirakan sebesar 65% dari penduduk Indonesia
tinggal di kota.
Sejalan dengan hal tersebut, DKI Jakarta sebagai
ibukota negara dan merupakan salah satu kota metropolitan juga terjadi proses
urbanisasi dan perkembangan kota yang sangat pesat. Percepatan urbanisasi dan perkembangan
kota di DKI Jakarta tentunya akan menimbulkan berbagai masalah. Jumlah
peningkatan penduduk kota yang signifikan tanpa didukung dan diimbangi dengan
jumlah penyediaan pangan, lapangan kerja, perumahan, sarana dan prasarana,
aparat penegak hukum, dan lain sebagainya merupakan masalah yang harus ditangani
dengan baik.
Di sisi lain, salah satu fenomena yang saat ini
terjadi di perkotaan di Indonesia maupun di DKI Jakarta adalah berkembangnya
pertanian perkotaan. Dalam Laporan Rural Urban Agriculture Foundation
(RAUF) tahun 2008, disebutkan bahwa definisi pertanian perkotaan adalah kegiatan
pertanian yang terdapat di dalam dan di sekitar perkotaan. Dengan demikian, secara
umum pertanian kota (urban agriculture) dapat didefinisikan sebagai setiap
bentuk usaha, komersial ataupun bukan, yang berkaitan dengan produksi,
distribusi, serta konsumsi dari bahan pangan atau hasil pertanian lain yang
dilakukan dengan memanfaatkan ruang minimalis yang terdapat di perkotaan.
Pertanian kota meliputi penanaman, panen, dan pemasaran berbagai bahan pangan
yang memanfaatkan lahan-lahan yang tersedia di lingkungan perkotaan.
Perbedaan yang paling menonjol antara pertanian
perkotaan dengan pertanian perdesaan adalah terintegrasinya pertanian perkotaan
ke dalam sistem ekonomi perkotaan dan ekosistem perkotaan. Peningkatan jumlah populasi
di perkotaan telah menyebabkan peningkatan kebutuhan bahan pangan. Jarak
perkotaan yang jauh dari sumber produksi pangan menjadi alasan pentingnya pertanian
perkotaan. Kesegaran bahan makanan yang tersedia, seperti sayur dan buah,
mengalami degradasi kualitas selama transportasi sehingga usaha memperdekat akses
terhadap bahan makanan melalui kegiatan pertanian perkotaan sangat perlu untuk
dilakukan.
Pertanian perkotaan selain mempunyai manfaat
ekonomi, juga mempunyai manfaat sosial dan manfaat lingkungan. Hal ini sejalan
dengan hasil penelitian Julie M. Slabinski (2013) yang menyimpulkan bahwa
pertanian perkotaan dapat menjadi salah satu solusi karena tidak hanya
menjadikan lahan kosong menjadi berguna tetapi juga memberikan solusi murah dan
fleksible bagi masyarakat yang kesulitan finansial.
Pola pertanian kota dapat dikembangkan merupakan pola pertanian yang berinteraksi dengan ekosistem perkotaan, yaitu:
- Lokasi usaha pertanian dapat dilakukan di dalam kota (intra-urban) atau di daerah pinggiran kota (semi-urban).
- Pertanian kota mendayagunakan sumber daya lahan perkotaan berupa lahan tidur, pekarangan, pot dan lahan pertanian di sekitar kota
- Pelaku yang terlibat dalam pertanian kota adalah penduduk perkotaan atau penduduk migran dan beragam mulai dari masyarakat miskin perkotaan, pegawai golongan rendah yang mempunyai waktu luang serta investor (pemodal besar) yang menanamkan investasi pada usaha pertanian di daerah perkotaan.
- Pertanian kota dapat memanfaatkan sumber daya perkotaan yang khas seperti sampah organik sebagai kompos dan limbah perkotaan untuk irigasi.
- Lokasi usaha perkotaan dan pinggiran kota membuka hubungan langsung dengan konsumen perkotaan.
- Pertanian perkotaan dapat memberikan dampak positif pada ekologi perkotaan
Kegiatan pertanian perkotaan di lahan kosong juga
bermanfaat dalam hal menghilangkan cemaran kimia yang terpapar di tanah. Dalam
proses yang dikenal sebagai fitoremediasi, tanaman dan mikroorganisme
mendegradasi bahan kimia, menyerap, mengkonversi dalam bentuk tersedia, dan
mengeluarkannya dari sistem lahan (Black, 1995; Don, 2004). Beberapa diantaranya
adalah logam logam, seperti Mercury, Timbal, Arsenik, Uranium, dan senyawa
organik seperti minyak bumi dan PCB. Usaha fitoremediasi tersebut umumnya dilakukan
pada awal pertanaman yang ditujukkan untuk tidak dikonsumsi. Setelah lahan
bebas dari kontaminan selanjutnya dapat digunakan untuk memproduksi bahan pangan
(Lasat, 2000; Cluis, 2004).
Peluang
dan Tantangan
Terbukanya peluang pasar yang sangat besar sejalan
dengan pertumbuhan masyarakat kota, dekatnya jarak antara produsen dan konsumen
sehingga mempermudah penanganan panen dan pasca panen, transportasi, waktu, dan
kualitas kesegaran produk, anomali cuaca yang disebabkan oleh perubahan iklim global
sehingga menyebabkan ketidakpastian pasokan produk pangan dari daerah-daerah sentra,
peningkatan kesadaran terhadap lingkungan (slogan go green) dan hidup sehat sejalan dengan peningkatan kemakmuran
sebagian masyarakat, dan peningkatan arus urbanisasi tenaga kerja berkemampuan terbatas
dari desa berlatar belakang pertanian, merupakan faktor-faktor dominan yang
mampu meningkatkan peluang berkembangnya pertanian di perkotaan (Holmer 2001;
Peters, 2011; Veenhuizen 2003; Dubbelling, 2005; Mbethany, 2005).
Namun demikian, tantangan yang
dihadapi
dalam pengembangan pertanian di perkotaan sebanding
dengan besarnya peluang pengembangan. Tantangan yang dihadapi diantaranya
adalah status hukum dan luasan lahan, pasokan sinar matahari dan sirkulasi
udara, cemaran logam berat, keterbatasan pengetahuan, serta berkembangnya
penyakit menular dari hewan.
Sebagian besar lahan yang digunakan adalah lahan tidur milik pribadi, swasta atau pemerintah seperti badan jalan,
bantaran rel, bantaran kali, dan ruang terbuka hijau. Kondisi tersebut akan
sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan usaha masyarakat dan pembinaan yang
diberikan oleh pemerintah ataupun swasta dan lembaga. Selain itu, sekelompok
masyarakat yang bercocok tanam di lahan tidur umumnya berasal dari daerah yang
sama dan masih memiliki hubungan kekerabatan. Lahan yang tersedia umumnya
dibagi sedemikian rupa sehingga masing-masing individu memiliki lahan garapan
yang sangat terbatas.
Pertanian kota didasarkan perspektif nilai ekonomis dan lingkungan. Namun dengan
keterbatasan lahan yang ada bukanlah hal yang menjadi hambatan untuk
mengaktualkan potensi nilai ekonomi yang dimilikinya. Lahan tersebut dioptimalkan
untuk ditanami tanaman-tanaman dengan nilai ekonomi tinggi seperti tanaman
pangan, tanaman hias dan tanaman penyuplai oksigen dalam jumlah besar.
Berikut merupakan berbagai
teknik urban farming yang dapat
menjadi solusi dan peluang bisnis tentunya
-
Vertikultur
- Hidroponik
Daftar Pustaka
Cahya
D. L. 2014. Kajian Peran Pertanian Perkotaan Dalam Pembangunan Perkotaan
Berkelanjutan (Studi Kasus: Pertanian Tanaman Obat Keluarga Di Kelurahan Slipi,
Jakarta Barat). Forum
Ilmiah 11(3):323-333.
Gafar A. 2015. Lorong Garden, Konsep Pertanian Perkotaan (Urban Farming). Diakses pada (https://fkthltbppsulsel.wordpress.com/2015/07/22/lorong-garden-konsep-pertanian-perkotaan-urban-farming/)
Tanggal 21 september 2017 pukul 21:28 WIB.
Sastro Y. 2013. Pertanian
Perkotaan: Peluang, Tantangan, Dan Strategi Pengembangan. Buletin
Pertanian Perkotaan 3(1):30-36.