Minggu, 31 Desember 2017

EFEK RUMAH KACA

Efek Rumah Kaca


Suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, "sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia" melalui efek rumah kaca.

Gambar 1. Proses Terjadinya Efek Rumah Kaca

Efek rumah kaca, yang pertama kali diusulkan oleh Joseph Fourier pada 1824, merupakan proses pemanasan permukaan suatu benda langit (terutama planet atau satelit) yang disebabkan oleh komposisi dan keadaan atmosfernya. Segala sumber energi yang terdapat di bumi berasal dari matahari. Sebagian besar energi tersebut berbentuk radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini tiba di permukaan bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan bumi. Permukaan bumi, akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari panas ini berwujud radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar. Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca, antara lain uap air, karbon dioksida, dan metana yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini. Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi. Keadaan ini terjadi terus menerus sehingga mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat. Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana gas dalam rumah kaca. Dengan makin meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, makin banyak panas yang terperangkap di bawahnya.
Efek rumah kaca disebabkan karena naiknya konsentrasi gas karbon dioksida (CO2) dan gas-gas lainnya di atmosfer. Kenaikan konsentrasi gas CO2 ini disebabkan oleh kenaikan pembakaran bahan bakar minyak, batubara dan bahan bakar organik lainnya yang melampaui kemampuan tumbuh-tumbuhan dan laut untuk menyerapnya.
Energi yang masuk ke Bumi:
·         25% dipantulkan oleh awan atau partikel lain di atmosfer
·         25% diserap awan
·         45% diserap permukaan bumi
·         5% dipantulkan kembali oleh permukaan bumi
Energi yang diserap dipantulkan kembali dalam bentuk radiasi inframerah oleh awan dan permukaan bumi. Namun sebagian besar inframerah yang dipancarkan bumi tertahan oleh awan dan gas CO2 dan gas lainnya, untuk dikembalikan ke permukaan bumi. Dalam keadaan normal, efek rumah kaca diperlukan, dengan adanya efek rumah kaca perbedaan suhu antara siang dan malam di bumi tidak terlalu jauh berbeda. Selain gas CO2, yang dapat menimbulkan efek rumah kaca adalah belerang dioksida, nitrogen monoksida (NO) dan nitrogen dioksida (NO2) serta beberapa senyawa organik, seperti gas metana dan klorofluorokarbon (CFC). Gas-gas tersebut memegang peranan penting dalam meningkatkan efek rumah kaca.  
Ilustrasinya seperti video berikut ini:


 Dampak Efek Rumah Kaca

Meningkatnya suhu permukaan bumi akan mengakibatkan adanya perubahan iklim yang sangat ekstrem di bumi. Hal ini dapat mengakibatkan terganggunya hutan dan ekosistem lainnya, sehingga mengurangi kemampuannya untuk menyerap karbon dioksida di atmosfer. Pemanasan global mengakibatkan mencairnya gunung-gunung es di daerah kutub yang dapat menimbulkan naiknya permukaan air laut. Efek rumah kaca juga akan mengakibatkan meningkatnya suhu air laut sehingga air laut mengembang dan terjadi kenaikan permukaan laut yang mengakibatkan negara kepulauan akan mendapatkan pengaruh yang sangat besar.
Menurut perhitungan simulasi, efek rumah kaca telah meningkatkan suhu rata-rata bumi 1-5 °C. Bila kecenderungan peningkatan gas rumah kaca tetap seperti sekarang akan menyebabkan peningkatan pemanasan global antara 1,5-4,5 °C sekitar tahun 2030. Dengan meningkatnya konsentrasi gas CO2 di atmosfer, maka akan makin banyak gelombang panas yang dipantulkan dari permukaan bumi diserap atmosfer. Hal ini akan mengakibatkan suhu permukaan bumi menjadi meningkat.
Efek rumah kaca ini sangat dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang ada di bumi, karena tanpanya, planet ini akan menjadi sangat dingin. Dengan temperatur rata-rata sebesar 15 °C (59 °F), bumi sebenarnya telah lebih panas 33 °C (59 °F) dari temperaturnya semula, jika tidak ada efek rumah kaca suhu bumi hanya -18 °C sehingga es akan menutupi seluruh permukaan Bumi. Akan tetapi sebaliknya, apabila gas-gas tersebut telah berlebihan di atmosfer, akan mengakibatkan pemanasan global.

Dampak Pemanasan Global

Para ilmuwan menggunakan model komputer dari temperatur, pola presipitasi, dan sirkulasi atmosfer untuk mempelajari pemanasan global. Berdasarkan model tersebut, para ilmuan telah membuat beberapa perkiraan mengenai dampak pemanasan global terhadap cuaca, tinggi permukaan air laut, pantai, pertanian, kehidupan hewan liar, dan kesehatan manusia.
a.    Iklim Mulai Tidak Stabil
b.    Peningkatan permukaan laut
c.    Suhu global cenderung meningkat
d.    Gangguan ekologis
e.    Dampak sosial dan politik

Ancaman Global warming Terhadap sektor Pertanian Indonesia

Kekhawatiran orang akan menipisnya persediaan bahan pangan di dunia ini bagi pemenuhan kebutuhan umat manusia telah berlangsung sejak beberapa abad lalu. Malthus, dalam karyanya yang menimbulkan perdebatan sengit, Essay on the Principle of Population, mengungkap kekhawatiran tersebut. Malthus mensinyalir bahwa, kelahiran yang tidak terkontrol, menyebabkan penduduk bertambah menurut deret ukur, sementara persediaan makanan tak akan mampu tumbuh lebih besar dari deret hitung.
Menurut Bank Dunia, populasi global diperkirakan akan meningkat menjadi lebih 8,3 milyar pada tahun 2025, dari hanya sekitar 5,3 milyar saat ini. Dengan begitu, berpegang pada asumsi bahwa seluruh manusia yang ada harus tetap makan, dengan standar gizi yang meningkat, maka produksi makanan harus dinaikkan beberapa ratus persen, dari tingkat produksi saat ini. Artinya, beban itu utamanya harus diberikan pada sektor pertanian, sebagai sektor utama penghasil bahan pangan. Kenyataan di atas dikhawatirkan akan makin memburuk dengan makin terwujudnya perdagangan bebas. Perdagangan bebas sering dilihat sebagai hal yang menciptakan ruang berkembang bagi proses akumulasi gas-gas rumah kaca. Ini terjadi lewat dorongan terhadap peningkatan produksi dan konsumsi yang pesat, yang tidak disertai dengan teknologi produksi yang ramah lingkungan (environmental friendly technology).
Sebagai negara kepulauan yang terletak di daerah tropis, Indonesia merupakan salah satu negara yang paling rentan terhadap ancaman dan dampak dari perubahan iklim. Letak geografis dan kondisi geologisnya menjadikan negeri ini semakin rawan terhadap berbagai bencana alam yang terkait dengan iklim. Menurut laporan IPCC, Indonesia diperkirakan akan menghadapi berbagai ancaman dan dampak dari perubahan iklim. Kenaikan permukaan air laut, meluasnya kekeringan dan banjir, menurunnya produksi pertanian, dan meningkatnya prevalensi berbagai penyakit yang terkait iklim merupakan beberapa dampak perubahan iklim yang sudah dan akan terjadi di Indonesia.
Sebagian besar, kota-kota di negeri ini yang berpenduduk padat berada di daerah pesisir pantai. Kota-kota ini beberapa dekade mendatang terancam akan tenggelam akibat kenaikan permukaan air laut. Penelitian yang dilakukan oleg Gordon Mc Grahanan dari International Institute for Environment and Development, Inggris, menemukan bahwa sekitar 10% dari total penduduk bumi yang bermukim sekitar 10 meter dari pinggir pantai terancam akan tenggelam ketika es di kutub mencair akibat perubahan iklim. Jakarta, Makassar, Padang, dan beberapa kota di Jawa Barat akan tenggelam beberapa dekade mendatang, jika kita merujuk pada penelitian ini. Menurunnya produksi pangan akibat gagal panen yang disebabkan oleh banjir dan kekeringan juga diperkirakan akan makin sering terjadi.
Orang mungkin beranggapan bahwa bumi yang hangat akan menghasilkan lebih banyak makanan dari sebelumnya, tetapi hal ini sebenarnya tidak sama di beberapa tempat. Bagian Selatan Kanada, sebagai contoh, mungkin akan mendapat keuntungan dari lebih tingginya curah hujan dan lebih lamanya masa tanam. Di lain pihak, lahan pertanian tropis semi kering di beberapa bagian Afrika mungkin tidak dapat tumbuh. Daerah pertanian gurun yang menggunakan air irigasi dari gunung-gunung yang jauh dapat menderita jika snowpack (kumpulan salju) musim dingin, yang berfungsi sebagai reservoir alami, akan mencair sebelum puncak bulan-bulan masa tanam. Tanaman pangan dan hutan dapat mengalami serangan serangga dan penyakit yang lebih hebat.
1)   Panen padi kosong di Indramayu
Untuk tahun 2003, para petani di Indramayu, Jawa Barat, punya catatan kelam. Ribuan hektar lahan terserang puso, gagal panen. Kala itu mereka menanam padi jenis talimas, salah satu varietas padi yang butuh waktu panjang dan perlu banyak air. Bencana yang dialami petani Indramayu, oleh pemerintah daerah dianggap dampak meningkatnya suhu bumi, alias pemanasan global.
2)  Musim yang tidak menentu (Anomali Iklim)
Pemanasan global yang memicu anomali iklim. Sederhananya, iklim menyimpang dari biasanya. Penyimpangan iklim ini terus meningkat, baik seringnya, gawatnya, maupun lamanya. Namun dampak perubahan iklim terhadap pertanian tidak langsung. Biasanya diawali dengan musim yang kacau serta munculnya bencana banjir dan kekeringan. Para petani, nelayan dan semua pihak yang berkaitan langsung dengan kondisi cuaca dibuat pusing oleh anomali cuaca ekstrem. Musim kemarau seolah bertumpuk dengan musim hujan sehingga sepanjang waktu selalu basah. Bahkan di sejumlah tempat hujan lebat tempat telah mengakibatkan banjir bandang yang menenggelamkan ratusan hektar sawah, dan ladang.
Tidak hanya banjir yang diterima juga terdapat peningkatan populasi hama. Banyak terjadi kasus ratusan hetar lahan benih milik sebuah BUMN yang hancur tidak dapat dipanen akibat adanya wereng. Serangan hama penggerek juga mengalami peningkatan sehingga mengganggu petani padi. Dampak ini juga berpengaruh kepada petani tebu, karena mengakibatkan kadar air yang tinggi, sehingga terjadi penurunan rendemen tebu.
3)  Kalender tanam berubah
Di Subang yang merupakan sentra produksi pangan, hasil studi menunjukkan: jika intensitas anomali kuat, maka masa tanam mundur 30 hari. Itu terjadi jika musim kemarau maju lebih cepat tiga puluh hari dan musim hujan mundur 20 hari. Tapi kalau anomalinya sedang, mundurnya cuma 20 hari. Iklim yang sulit diperhitungkan menyebabkan petani sulit menyusun kalender tanam. Jadi kalau musim kemarau, lahan pertanian kekeringan. Sedang kalau musim hujan, yang dialami adalah banjir. Petani jelas rugi. Karena ramalan iklim susah ditebak.
4)  Penurunan Produksi Pertanian Indonesia
Di Indonesia, pengaruh pemanasan global telah menyebabkan perubahan iklim, antara lain terlihat dari curah hujan di bawah normal, sehingga masa tanam terganggu, dan meningkatnya curah hujan di sebagian wilayah. Kondisi tata ruang, daerah resapan air, dan sistem irigasi yang buruk makin memicu terjadinya banjir, termasuk di area persawahan. Sebagai gambaran, pada 1995 hingga 2005, total tanaman padi yang terendam banjir berjumlah 1.926.636 hektar. Dari jumlah itu, 471.711 hektar di antaranya mengalami puso. Sawah yang mengalami kekeringan pada kurun waktu tersebut berjumlah 2.131.579 hektar, yang 328.447 hektar di antaranya gagal panen.
Rosamond Naylor, Direktur Program Ketahanan Pangan dan Lingkungan dari Stanford University, melansir anomali cuaca El Nino, yang diperburuk oleh pemanasan global, akan menimbulkan kerugian bagi produksi beras di kawasan Jawa-Bali karena mundurnya musim hujan.
Upaya Umum Mengatasi Global Warming
1.   Konferensi Climate Change (UNFCCC)
Isu perubahan iklim mulai mendapat perhatian dunia sejak diselenggarakannya Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro, Brazil, pada tahun 1992. Pada pertemuan itu para pemimpin dunia sepakat untuk mengadopsi sebuah perjanjian mengenai perubahan iklim yang dikenal dengan Konvensi Perubahan Iklim PBB atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Tujuan utama dari konvensi ini adalah untuk menjaga kestabilan emisi gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat yang aman, sehingga tidak membahayakan sistem iklim bumi.
2.  Mitigasi
Mitigasi berarti sebuah usaha yang dilakukan untuk mencegah, menahan dan atau memperlambat efek gasrumah kaca yang menjadi penyebab pemanasan global di bumi. Komitmen dunia dalam mitigasi pemanasan global dengan menurunkan tingkat emisi secara kolektif 5,2 persen dari tingkat emisi pada 1990 tetap harus diusahakan. 
3.  Adaptasi
Di berbagai negara, upaya adaptasi mulai dilakukan, misalnya pembuatan strategi manajemen air di Australia dan Jepang atau pembangunan infrastruktur untuk melindungi pantai di Maldives dan Belanda. Inilah yang kita perlukan di Indonesia. Setidaknya pemerintah membangun sistem identifikasi dan informasi mengenai dampak perubahan iklim serta mengembangkan sistem peringatan dini dan manajemen dampak perubahan iklim. Untuk sektor pertanian, sistem penyuluhan sebagai pusat informasi cuaca dan perubahan iklim harus dibangun serius. Menghadapi perubahan iklim yang kian nyata menjelang 2050, perlu dikembangkan jenis padi yang tahan kekeringan atau cara budidaya padi yang lebih efisien terhadap air. Selain itu, pembangunan dan manajemen irigasi penting dibenahi. Kita perlu mempertanyakan bagaimana pemetaan wilayah yang rawan kekeringan, informasi perubahan dan prediksi iklim, peta zona agroekologi potensial, teknologi pemanenan hujan, serta embung yang selama ini diklaim telah dikembangkan pemerintah.

Upaya Khusus Mengatasi Global Warming

Upaya khusus untuk mengatasi global warming adalah dengan menanam pohon sebanyak-banyaknya, khususnya pohon dengan kemampuan menyerap karbondioksida tinggi dan mengganti bahan bakar fosil dengan sumber energi baru yang tanpa emisi karbon.
a)  Menanam Pohon Trembesi
Gambar 2. Pohon trembesi

Penanaman pohon bisa memenuhi komitmen pengurangan emisi karbon dan Pohon Trembesi efektif menyerap karbon dari udara. Pohon Trembesi atau dikenal dengan Pohon Hujan atau Ki Hujan adalah pohon berkanopi seperti payung yang memiliki ukuran daun yang tak lebih dari koin Rp 100, namun paling unggul dalam menyerap karbondioksida. Menurut Dr. Ir. H. Endes N. Dahlan, Dosen Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor mengungkapkan bahwa Pohon Trembesi suatu terobosan untuk mengatasi pemanasan global, karena memiliki daya rosot gas CO2 yang sangat tinggi. Satu batang pohon Trembesi mampu menyerap 28,5 ton gas CO2 setiap tahunnya (diameter tajuk 15 m). Penanaman jenis ini secara luas dapat menurunkan konsentrasi gas ini secara efektif dalam waktu yang lebih singkat
b)  Pohon Nipah sebagai sumber energi baru
Gambar 3. Pohon nipah

Sebuah sumber energi baru ditemukan untuk menggantikan bahan bakar minyak, yakni ethanol dari pohon nipah yang dipercaya dapat menghentikan pemanasan global. Dengan metode penyulingan minyak ditemukan sebuah penemuan, yaitu memproduksi ethanol secara komersial dari pohon nipah, yang bisa ditemukan di negara-negara yang berada di wilayah ekuator, yang bisa menjadi bahan bakar mulai dari kendaraan bermesin hingga pembangkit listrik. Getah nipah akan digunakan dalam sebuah proses untuk menghasilkan ethanol yang tidak memproduksi satupun emisi karbon yang selama ini dianggap menyebabkan efek rumah kaca, yakni pengubah cuaca dan penipisan ozon. Pohon nipah tidak termasuk sumber bahan makanan dan getahnya bisa diambil setiap hari tanpa harus memanen tanaman tersebut. Tanaman ini bisa hidup hingga 50 tahun dan yang perlu dilakukan hanyalah mengumpulkan getahnya dan disuling untuk menghasilkan bahan bakar alternatif.




Sumber:

Suarsana M. dan P. S. Wahyuni. 2011. Global Warming: Ancaman Nyata Sektor Pertanian dan Upaya Mengatasi Kadar Co2 Atmosfer. Widyatech Jurnal Sains dan Teknologi 11 (1): 31-46.
https://www.academia.edu/9045862/DAMPAK_PERUBAHAN_IKLIM_TERHADAP_PERTANIAN_DI_INDONESIA_DAN

EFEK RUMAH KACA